Bagaimana Inggris Mendorong Anak Supaya Gemar Membaca
Jalan masuk suatu pengetahuan adalah berasal dari membaca buku. Maka wajar jika ada yang bilang buku itu sumbernya ilmu.
Namun, banyak anak-anak yang masih tidak suka membaca. Salah satu alasannya adalah karena sejak kecil anak kurang banyak dirangsang untuk mau membaca. Anak lebih banyak disodori acara TV atau film daripada banyak membaca. Masih teringat di pikiran saya perkataan rekan kerja saya beberapa tahun lalu:
“Lihat saja dari rumah dosen atau guru. Ruang menonton TV lebih besar daripada ruang lainnya. Dan, bisa kita lihat seberapa persen dari mereka punya perpustkaan? Itu pengajar. Belum ditambah masyarakat umum“.
Ya, perpustakaan. Di kita, perpustakaan identik dengan sekolah. Itu karena hanya sekolah yang bisa merawat perpustkaannya. Sementara di kota, sudah tidak banyak perpustakaan daerah yang masih terawat dengan baik.
Akhir-akhir ini banyak yang memiliki perpustakaan pribadi. Namun, membuat perpustakaan di rumah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hanya sebagian orang yang bisa menyisihkan uangnya dan sadar akan pentingnya membaca yang memiliki perpustakaan pribadi di rumah. Berbeda dengan sebagian umum masyarakat kita yang berasal dari golongan menengah ke bawah. Jangankan membuat ruangan khusus untuk perpustakaan atau ruang baca, ruang tidur saja masih kurang. Bahkan mereka tidak punya kamar mandi.
Jika memang daya beli buku masyarakat rendah, pemerintah harusnya menyediakan perpustakaan umum untuk menjadikan masyarakat lebih berilmu. Bukankah ilmu adalah jembatan untuk mengangkat perekonomian bangsa?
Coba saja dilihat di negara-negara maju. Perpustakaan umum selalu disediakan di tiap daerah. Bahkan untuk meminjam buku tidak dipungut biaya sama sekali. Hanya dibutuhkan ID card untuk mendapatkan kartu perpustakaan.
Ambil contoh di Inggris. Di setiap kota ada perpustakaan umum yang dikelola oleh pemda setempat. Namun, meski bernama perpustakaan umum, tapi kualitasnya tidak asal-asalan. Koleksi bukunya lengkap. Keanggotaanya bebas dan tidak dipungut biaya jika meminjam buku di perpustakaan itu. Koleksi bukunya tidak hanya untuk orang dewasa saja, pun juga disediakan banyak koleksi buku untuk anak-anak.
Ya, di setiap perpustakaan ada ruangan khusus untuk anak-anak. Ruangan itu tidak seperti ruangan perpustakaan dewasa. Tentu saja semuanya dirancang untuk ukuran anak-anak. Rak buku didesain tidak tinggi, sehingga anak bisa menggapai buku paling atas. Tembok diberi wall paper yang cerah sehingga membuat anak kerasan di perpustakaan.
Tidak hanya itu saja, disediakan meja khusus yang untuk menggambar. Kertas dan pensil warna sudah disediakan oleh pihak perpustakaan. Ini disediakan untuk anak-anak yang sudah merasa bosan berada di dalam perpustakaan.
Meski ada tempat untuk menggambar, ternyata anak-anak tidak gaduh. Saya coba melihat apakah ada tulisan yang melarang gaduh. Ternyata belum saya temukan. Ya, mungkin tidak ada. Hal ini seolah-oleh mengatakan bahwa anak ‘gaduh itu wajar‘, meski kemudian kami tetap menjaga dan memberi pengertian ke anak-anak supaya bikin gaduh sehingga bisa mengganggu orang lain yang sedang membaca. Tapi tidak lama kemudian, saya mendengar ada anak kecil teriak-teriak. Rupanya dia sedang marah ke orangtuanya. Dan tidak saya lihat ada petugas yang menegur orangtuanya.
Tidak cukup dengan memberikan fasilitas perpustakaan yang “ramah anak”, British Council bekerja sama dengan organisasi amal “The Reading Agency” mengadakan Summer Reading Challenge di perpustakaan-perpustakaan di seluruh Inggris. Tahun 2012, ada sekita 97% perpustakaan di Inggris yang mengadakan kegiatan ini.
Peserta dari kegiatan ini adalah primary shool dan secondary school. Ya, karena kegiatan ini sebenarnya bertujuan untuk memotivasi anak-anak agar tetap membaca meskipun liburan. Maklum saja, liburan di Inggris bisa sampai tiga bulan yang mungkin saja itu bisa menjauhkan anak-anak dari aktifitas membaca. Mengenai waktu, karena diadakan di musim panas, biasanya dimulai bulan Agustus sampai awal September.
Bagi anak yang berminat mengikuti kegiatan ini harus mendaftarkan diri di perpustakaan. Ada 6 buku yang harus dibaca oleh anak. Bukunya terserah anak, mereka boleh memilih sesuka hatinya. Enam buku itu tidak langsung dibaca sekaligus, tapi dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama anak diberi dua buku. Jika selesai, anak akan diberi dua buku lagi di tahap berikutnya. Anak yang bisa menyelesaikan membaca enam buku akan mendapat sertifikat. Hanya itu saja? Tidak ada lomba? Ya, hanya diberi sertifikat telah menyelesaikan membaca enam buku dan tidak ada lomba karena tujuan utamanya adalah merangsang anak suka membaca.
Namun ada yang menarik. Di Shoutampthon sertifikatnya diberikan langsung oleh Shouthampton Mayor, Derek Burke. Tentu saja anak-anak semakin senang bisa bersalaman dengan Walikota.
Membaca adalah kegiatan yang sederhana tetapi merupakan jembatan untuk mendapatkan banyak ilmu. Tetapi tidak banyak disukai karena kita tidak terbiasa. Cara membiasakan adalah dari rumah, jika rumah tidak bisa lingkungan dan sekolah yang harus merangsangnya. Setelah itu pemerintah yang harus menyediakan fasilitas membaca untuk menjadikan generasi kita lebih banyak pengetahuan sebagai bekal hidupnya kelak.
Namun, banyak anak-anak yang masih tidak suka membaca. Salah satu alasannya adalah karena sejak kecil anak kurang banyak dirangsang untuk mau membaca. Anak lebih banyak disodori acara TV atau film daripada banyak membaca. Masih teringat di pikiran saya perkataan rekan kerja saya beberapa tahun lalu:
“Lihat saja dari rumah dosen atau guru. Ruang menonton TV lebih besar daripada ruang lainnya. Dan, bisa kita lihat seberapa persen dari mereka punya perpustkaan? Itu pengajar. Belum ditambah masyarakat umum“.
Ya, perpustakaan. Di kita, perpustakaan identik dengan sekolah. Itu karena hanya sekolah yang bisa merawat perpustkaannya. Sementara di kota, sudah tidak banyak perpustakaan daerah yang masih terawat dengan baik.
Akhir-akhir ini banyak yang memiliki perpustakaan pribadi. Namun, membuat perpustakaan di rumah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hanya sebagian orang yang bisa menyisihkan uangnya dan sadar akan pentingnya membaca yang memiliki perpustakaan pribadi di rumah. Berbeda dengan sebagian umum masyarakat kita yang berasal dari golongan menengah ke bawah. Jangankan membuat ruangan khusus untuk perpustakaan atau ruang baca, ruang tidur saja masih kurang. Bahkan mereka tidak punya kamar mandi.
Jika memang daya beli buku masyarakat rendah, pemerintah harusnya menyediakan perpustakaan umum untuk menjadikan masyarakat lebih berilmu. Bukankah ilmu adalah jembatan untuk mengangkat perekonomian bangsa?
Coba saja dilihat di negara-negara maju. Perpustakaan umum selalu disediakan di tiap daerah. Bahkan untuk meminjam buku tidak dipungut biaya sama sekali. Hanya dibutuhkan ID card untuk mendapatkan kartu perpustakaan.
Ambil contoh di Inggris. Di setiap kota ada perpustakaan umum yang dikelola oleh pemda setempat. Namun, meski bernama perpustakaan umum, tapi kualitasnya tidak asal-asalan. Koleksi bukunya lengkap. Keanggotaanya bebas dan tidak dipungut biaya jika meminjam buku di perpustakaan itu. Koleksi bukunya tidak hanya untuk orang dewasa saja, pun juga disediakan banyak koleksi buku untuk anak-anak.
Tidak hanya itu saja, disediakan meja khusus yang untuk menggambar. Kertas dan pensil warna sudah disediakan oleh pihak perpustakaan. Ini disediakan untuk anak-anak yang sudah merasa bosan berada di dalam perpustakaan.
Meski ada tempat untuk menggambar, ternyata anak-anak tidak gaduh. Saya coba melihat apakah ada tulisan yang melarang gaduh. Ternyata belum saya temukan. Ya, mungkin tidak ada. Hal ini seolah-oleh mengatakan bahwa anak ‘gaduh itu wajar‘, meski kemudian kami tetap menjaga dan memberi pengertian ke anak-anak supaya bikin gaduh sehingga bisa mengganggu orang lain yang sedang membaca. Tapi tidak lama kemudian, saya mendengar ada anak kecil teriak-teriak. Rupanya dia sedang marah ke orangtuanya. Dan tidak saya lihat ada petugas yang menegur orangtuanya.
Peserta dari kegiatan ini adalah primary shool dan secondary school. Ya, karena kegiatan ini sebenarnya bertujuan untuk memotivasi anak-anak agar tetap membaca meskipun liburan. Maklum saja, liburan di Inggris bisa sampai tiga bulan yang mungkin saja itu bisa menjauhkan anak-anak dari aktifitas membaca. Mengenai waktu, karena diadakan di musim panas, biasanya dimulai bulan Agustus sampai awal September.
Bagi anak yang berminat mengikuti kegiatan ini harus mendaftarkan diri di perpustakaan. Ada 6 buku yang harus dibaca oleh anak. Bukunya terserah anak, mereka boleh memilih sesuka hatinya. Enam buku itu tidak langsung dibaca sekaligus, tapi dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama anak diberi dua buku. Jika selesai, anak akan diberi dua buku lagi di tahap berikutnya. Anak yang bisa menyelesaikan membaca enam buku akan mendapat sertifikat. Hanya itu saja? Tidak ada lomba? Ya, hanya diberi sertifikat telah menyelesaikan membaca enam buku dan tidak ada lomba karena tujuan utamanya adalah merangsang anak suka membaca.
Namun ada yang menarik. Di Shoutampthon sertifikatnya diberikan langsung oleh Shouthampton Mayor, Derek Burke. Tentu saja anak-anak semakin senang bisa bersalaman dengan Walikota.
Membaca adalah kegiatan yang sederhana tetapi merupakan jembatan untuk mendapatkan banyak ilmu. Tetapi tidak banyak disukai karena kita tidak terbiasa. Cara membiasakan adalah dari rumah, jika rumah tidak bisa lingkungan dan sekolah yang harus merangsangnya. Setelah itu pemerintah yang harus menyediakan fasilitas membaca untuk menjadikan generasi kita lebih banyak pengetahuan sebagai bekal hidupnya kelak.
(Sumber: Blog Kompasiana. Oleh: Septin Puji Astuti)
Reading to improve the quality of life
No comments:
Post a Comment